Langit gelap, matahari seakan tertimbun awan, unggas-unggas laut terbang ketakutan, dan penduduk gampong berlari-lari dengan wajah pucat. Aku berdiri dari tempat dudukku dan menatap ke jalan besar, penduduk desa berlari ketakutan sambil berteriak “Ie...ie...ie...”.
Air? Dari mana? tanyaku dalam hati. sekian detik kemudian aku melihat gulungan air berwarna hitam pekat yang tingginya lebih dari 5 meter sedang mengejar penduduk desa. Tubuhku gemetar ketakutan. “Apa ini ?” tanyaku sendiri.
Dan belum diriku sendiri sempat menjawab, gulungan air di hadapan menari dengan binalnya, aku berlari untuk menghindari air yang sedang bergulung-gulung, melibas apapun yang ada di hadapannya. Aku merasakan nafas sudah di ujung mulut, tidak lagi sanggup menghirup nafas lagi. Jantungku berdegup hebat, aku merasakan kematian sedang merambat pelan. Air bah hitam pekat itu mendekat, penduduk desa yang tadi kulihat berlari sudah tertelan, kini giliranku.
Aku sudah tak sanggup, pasrah sudah jika harus di telan dan mati di detik ini juga.
“Arghhh....,” suaraku tertelan sendiri.
Air? Dari mana? tanyaku dalam hati. sekian detik kemudian aku melihat gulungan air berwarna hitam pekat yang tingginya lebih dari 5 meter sedang mengejar penduduk desa. Tubuhku gemetar ketakutan. “Apa ini ?” tanyaku sendiri.
Dan belum diriku sendiri sempat menjawab, gulungan air di hadapan menari dengan binalnya, aku berlari untuk menghindari air yang sedang bergulung-gulung, melibas apapun yang ada di hadapannya. Aku merasakan nafas sudah di ujung mulut, tidak lagi sanggup menghirup nafas lagi. Jantungku berdegup hebat, aku merasakan kematian sedang merambat pelan. Air bah hitam pekat itu mendekat, penduduk desa yang tadi kulihat berlari sudah tertelan, kini giliranku.
Aku sudah tak sanggup, pasrah sudah jika harus di telan dan mati di detik ini juga.
“Arghhh....,” suaraku tertelan sendiri.
***
Entah berapa saat, yang kutahu kini kilau matahari berkilatan melewati mataku. Aku merasakan nafasku berat, dadaku seperti menyesak dan bukan kepalang nyeri pada kakiku. Kakiku ngilu. Sekuat tenaga aku membuka mataku, seorang laki-laki setengah baya menepuk pipiku, entah dari mana dia datang.
“Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu, bajunya compang-camping wajahnya kelelahan seperti habis dikejar ombak yang sama dengan yang mengejarku tadi. Aku membalasnya dengan anggukan pelan.
Lelaki itu tersenyum, lalu pergi meninggalkanku. Aku bangkit dan berusaha bersandar di sebatang pohon. Aku menatap kesekitar. Ya Allah apa yang membawaku kedepan masjid Baiturahman? Seingatku, tadi aku sedang berdiri di Pantai Lhoknga sambil menikmati sebatang rokok.
Aku menatap kesekitar, semua yang ada di hadapanku hancur lebur. Bangunan hancur dan hanya tersisa kayu-kayu yang tercerabut dari simpul-simpulnya, mobil teronggok ringsek, dan banyak mayat bergelimpangan. Hanya masjid Baiturahman yang masih berdiri kokoh, aku bisa melihat banyak sekali orang yang berdiri didalam mesjid sambil menangis.
Di pelataran masjid kepiluan lebih menyayat lagi. Mereka berteriak-teriak memanggil nama seperti sedang mencari keluarganya, sesekali mereka berteriak, mengacak-acak rambut, dan tersungkur pada kenyataan pahit. Semua hancur, lebur.
Seorang anak laki-laki menangis tersedu, matanya nanar dan menatapku sendu. Aku menitikkan air mata. Aku melambaikan tangan dan mengajaknya duduk di sampingku.
“Keuno” panggilku. Jarak antara aku dan anak itu tidak jauh, hanya sekitar 2 meter. Jelas sekali isak tangis anak itu menyayat hati.
Anak kecil itu menggeleng lemah. Tangannya gemetar, bajunya bertuliskan “Aceh Loen Sayang” sudah robek, umurnya sekitar 4 tahun, rambutnya acak-acakan.
“Jak keuno, bek takot” panggilku lembut. Anak itu memandangku ragu, sejenak dia menunduk, lalu berdiri, lambat-lambat berjalan duduk di sampingku. Tangisannya semakin kuat, aku memeluknya lembut.
“Abang, saya takut,” ujar anak itu pelan. Aku menahan sesak dan memeluknya. Aku mungkin tidak pernah kenal anak ini, tapi kami sama-sama sedang dalam ketakutan sangat.
“Jangan takut, ada abang di sini. Siapa namamu?”
“Tarmizi, ditulis pakai huruf Z tapi kawan suka memanggil Iji, dengan huruf J.”
Aku tersenyum menatap bola matanya yang bulat dan memancarkan sinar polos. Aku merangkulnya.
“Saya Ibral,” Ujarku pelan.
Iji menghapus air matanya. Aku menatap ke sekeliling sambil mengingat-ingat bagaimana aku bisa selamat dari gulungan air yang begitu ganas. Aku memejamkan mata, yang kuingat hanyalah penggalan-penggalan kejadian yang teracak.
Kilatan cahaya dari air yang mengerling tertimpa matahari. Setelah air hitam pekat itu menghantam tubuhku, aku seperti kehilangan kesadaran sekian detik. Yang dirasa hanya kegelapan yang pekat, pusing, dan tidak bernafas.
Menit berikutnya aku merasakan tubuhku terhantam macam-macam benda. Aku tidak ingat benda apa namun sepertinya tubuhku menghantam panci, terlilit kain, terbentur sepatu, dan sepertinya kakiku tergores seng tajam.
Ketika kehabisan nafas, aku mencoba mendorong tubuhku untuk naik ke atas. Sekuat tenaga aku berenang walaupun dengan energi sisa-sisa yang nyaris tak cukup lagi sekedar untuk tersenyum. Waktu itu aku sempat melihat sinar matahari ditengah gelapnya air pekat.
Namun tiba-tiba kaki kananku seperti ditarik oleh seseorang dari bawah. Aku tidak sempat lagi melihat siapa pelakunya, tubuhku terseret lagi kebawah. Kuku-kukunya yang panjang mencakar dalam kakiku, aku hanya membuat perkiraan, orang di bawahku adalah perempuan.
Dalam keadaan takut kakiku berontak, diriku meronta untuk bisa hidup, kakiku menendang dengan segala macam jurus. Tangan yang menarik kakiku mulai melemah, sejurus dengan itu kaki kiriku seperti menginjak kepala manusia. Sepertinya kepala dari orang yang menarik tanganku. Refleks aku menginjak kuat kepala manusia itu untuk mendorong tubuhku naik lagi kepermukaan air.
Tangan yang memegang kakiku terlepas, badanku terdorong ke atas. Aku tidak lagi memperdulikan orang yang baru saja kuinjak kepalanya. Aku harus bertahan hidup, gumam hatiku waktu itu.
Setelah itu aku betul-betul kehilangan kesadaranku, aku tidak lagi bisa mengingat apapun. Hingga akhirnya aku sadar terlempar sejauh ini entah hanya dalam berapa detik sudah teronggok lemah di depan mesjid Baiturahman.
“Abang..” Panggil anak kecil yang sedari tadi ternyata menatapku yang sedang melamun.
“Ya”
“Haus” ujarnya pelan.
Aku menatap ke sekeliling dan mencoba untuk bangkit. Ngilu di kakiku kian menyayat, aku ambruk. Iji memelukku.
“Sudah abang, tidak usah cari minum, Iji tidak haus lagi, Iji jangan ditinggal sendiri.”
Hatiku teriris. Aku kembali duduk dan memeluk bocah kecil ini. Aku memang tidak akan kemana-mana. Tidak sampai Tuhan menggariskan nasib yang berbeda di antara aku dan Iji. Iji memelukku erat sekali.
“Abang tidak kemana-mana Iji,” Bisikku lirih.
Iji menatapku, bola matanya menatap dalam.
“Ibu juga bilang seperti itu waktu lari menghindari air tadi bang, Ibu menyuruh Iji pegang erat tangannya. Tapi airnya keras bang, tangan ibu lepas. Nanti kalau ada air datang lagi, peluk Iji ya bang, yang keras, jangan sampai lepas” Ujar Iji, aku melihat garis takut dari matanya.
“Iya Iji, abang akan peluk erat”
Kami berdua, duduk dalam diam di menit-menit berikutnya. Kami tidak lagi butuh kata-kata untuk saling berbagi ketakutan kami.
Tarian Tsunami yang binal sudah usai. Senja dikejauhan bersungut muram. Disekeliling sisa air turut lunglai, berwarna keperakan tertimpa cahaya senja sore ini. Sebuah kilatan senja yang mulai terbenam membayang sebuah wajah. Jauh di dasar hatiku tiba-tiba ada rasa getir menyelimuti, apa perempuan yang tadi memegang kakiku masih hidup? Atau dia masih menari larut dalam tarian Tsunami entah di pusaran yang mana? Entah lah.
“Aceh Rayeuk,” kata iji. Aku terhenyak. Iji seperti menjawab kegelisahanku, dibalik ini ada kebesaran yang tidak bisa diungkap lewat bahasa mana pun; Kebesaran Tuhan.
“Ya”, balasku. “ACEH RAYEUK” kuharap memang kami akan tetap menjadi orang Aceh yang berjiwa besar.
sumber:http://www.atjehcyber.net
0 comments:
Post a Comment