This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, December 31, 2011

Happy New Year 2012

malam ini aq du2k di sebuah sudut jambo dayak meulayu aku melihat begitu banyak orang yang merayakan tahun baru dengan pesta kembang api dan mercon, rata sudut Kota Banda Aceh penuh dengan ledakan mercon dan  kembang api yang berterbangan di udara, tapi tidak tau kenapa aku melihat itu semua suatu hal yang tidak ada arti dan tidak ada mamfaat, suatu hal yang mubazir, seandainya uang yang digunakan untuk membeli kembang api dan mercon itu di gunakan untuk membeli sebungkus nasi untuk anak jalanan ataupun di sumbangkan ke panti asuhan, sungguh suatu hal yang sangat bermamfaat, sedih rasanya melihat fenomena ini, sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh orang barat kini menjadi budaya kita, semua tertawa, semua berteriak seakan akan baru saja mendapatkan sebuah kemenangan yang di capai di Tahun 2011 ini. banyak sms ucapan selamat Tahun baru masuk ke hp aku, semua bergembira, apakah itu pertanda dunia ini sudah sangat tua, ataukah suatu pertanda jeleknya kehidupan dunia ini ke depan nanti, entahlahh, di saat tahun baru Islam tidak ada rasa gembira, tidak ada rasa syukur, tidak ada zikir, bahkan kebanyakan orang tidak tau bahwa hari itu adalah Tahun baru Islam. Sedihh.

malam ini aku merenungkan, mereview ulang  apa yang sudah kulakukan di Tahun 2011 ini, apa yang telah kudapatkan,  apa yang bermamfaat bagi hidup dunia akhirat aku, rasanya, tidak ada, semua sia2, sedih. 
sungguh ku ingin hidup bermamfaat bagi orang lain, ingin kuberikan dua titik dari setitik yang kumiliki, karna hidup ini tidak ada arti jika tidak memberikan mamfaat untuk orang lain.
sepucuk do'a yang ingin ku ucapkan di malam ini, semoga hidup dan umur kita diberkahi oleh Allah, menjadi orang yang bisa di banggakan oleh orang tua, menjadi orang yang bermamfaat bagi Agama, dan Negara,  menjadi orang yang bisa memberikan dua titik dari setitik yang kita miliki, menjadi orang yang sadar akan arti kehidupan, dan semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa kita yang telah terbuat  selama ini, dan semoga Allah menunjukkan jalan yang lurus dalam menjalani hidup ini kedepannya. Insya Allah.
Wassalam.

Muhammad Rizal


Monday, December 19, 2011

"Si Mata Biru", Keturunan Portugis di Lamno Jaya

 “...Jika jalan-jalan ke Aceh Barat, Jangan lupa singgah sejenak di Lamno Jaya. Di sana dapat kita lihat dara Portugis, Si Dara Barat yang biru mata....”

Kurang lebih seperti itu terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang diberinya judul Dara Portugis. Lagu itu dikumpulkan dalam sebuah kaset yang diluncurkan oleh Kasgarecord. Oleh karena lagu itu, keberadaan dara Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung den­gan Aceh Barat) menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan, orang asing yang datang pascatsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah mengeta­hui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas ie beuna atau Tsunami.
Sebelum menelusuri lebih lanjut jejak si mata biru, kita mengingat dulu sejarah Aceh. Seperti halnya bangsa lain yang mendatangi Aceh, Portugis bertujuan menjalin kerja sama di bidang rempah-rempah. Ketika itu Aceh me­mang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Na­mun, lambat-laun negeri berjulukan ‘Seramoe Makkah’ ini jadi jajahan. Lantas, apa yang dapat kita petik dari pening­galan sejarah jajahan tersebut setelah Aceh merdeka?

Sebelum sampai ke jawaban dari pertanyaan itu, tanpa bermaksud mengungkit perih, duka-lara, dan dendam yang tercerabut-berpagut hingga kini, saya mencoba memapar­kan sebuah sifat keacehan yang dimiliki orang Aceh hingga kini. Karakteristik keacehan itu kerap disematkan pada na­rit maja Aceh.

Salah satunya, sipeut ureueng Aceh hanjeut teupeh. Meunyo teupèh, bu leubèh hana meuteumè rasa; meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba. Apabila di-In­donesiakan, lebih kurang memiliki makna orang Aceh tidak boleh disinggung (hatinya). Kalau tersinggung, nasi basi pun tak diberikan; kalau tidak disinggung, kelamin pun boleh diraba.

Mungkin, karena sifat itu, orang Aceh gampang di­jajah, karena orang Aceh begitu mudah akrab dengan orang asing saat hatinya sudah disentuh lembut. Bermula menyentuh dengan sangat lembut hati orang Aceh, bang­sa-bangsa pendatang mencoba menjalin ikatan kerja sama perdagangan dengan bangsa Aceh. Kemudian, orang Aceh yang sudah tersentuh hatinya, dengan gampang dan gam­blang menyerahkan yang dia punya kepada bangsa pen­datang tadi. Saat itu, tanpa disadari Aceh telah dijajah. Maka, ketika telah sadar dirinya dijajah, orang Aceh yang lebih senang menyebut dirinya ureung Aceh akan bangkit dengan segala daya dan upaya.

Saat seperti inilah, keace­han itu timbul kembali, yakni daripada hidup di bawah kaki penjajah meski diberi pangkat dan harta berlimpah lebih baik mati bersimbah darah atau mati berkalang tanah. Hal ini juga dinukilkan dalam narit maja Aceh: daripada juléng göt buta; daripada capiek göt patah, daripada singèt göt rhô meubalék (daripada juling lebih baik buta, daripada pin­cang lebih baik patah, daripada miring lebih baik tumpah semua). Yang lebih tegas lagi, daripada na göt hana (dari­pada ada, lebih baik tidak ada).



Maka dari itu, perjuangan dengan gencar melawan penjajah dilakukan ureueng Aceh hingga akhirnya penjajah lari pulang tunggang-langgang ke asalnya, mengakui keperkasaan Aceh. Lantas, setelah pen­jajah itu pulang ke asalnya, apa yang tersisa dari sebuah peninggalannya?

Sebut saja salah satu penjajah Aceh adalah bangsa Portugis. Menurut catatan sejarah, bangsa Eropa itu men­jajah Aceh terutama di pantai barat Aceh, tepatnya Lamno. Seperti bangsa Eropa penjajah lainnya (Belanda dan Ing­gris), Portugis juga memainkan taktiknya dengan mencoba merebut hati orang Aceh. Pembauran kedua etnis ini pun terjadi.

Orang Aceh ada yang dinikahi oleh orang Portugis, lalu mempunyai keturunan. Setelah Portugis berhasil dika­lahkan Aceh hingga kembali ke asalnya, yakni Eropa, ketu­runan Portugis itu ada yang tertinggal di Aceh. Kendati ada orang Aceh yang dinikahi oleh bangsa Barat itu atas nama cinta, istri dan keturunannya tetap ditinggalkan di Aceh. Peninggalan inilah yang membuat Lamno atau disebut juga dengan Nanggroe Daya, terkenal dengan si mata biru atau dara Portugis. Tak ayal, sebagian orang berpendapat, jika in­gin melihat bangsa Barat turunan, datang saja ke Lamno, di samping ada pantai dan pemandangan yang indah di situ.

Umumnya, orang-orang mata biru ini sangat mirip dengan orang Eropa. Bukan hanya matanya yang biru, kulit­nya juga putih serupa kulit orang Barat. Seiring waktu yang terus berjalan, perkawinan antarsuku semakin meluas. Keturunan si mata biru pun menikah dengan orang Aceh dari daerah lain dan mungkin dengan bukan orang Aceh. Pertanyaannya sekarang, masihkah ada keturunan Portugis tersebut di Aceh?

Beberapa waktu lalu, saya dan teman pergi ke Lamno, ke tempat keturunan Portugis itu menetap. Di sana, saya mencoba mengamati sekeliling, baik orang yang melintas maupun yang duduk di rumah atau di warung kopi. Heran! Tiga puluh menit menelusuri Lamno, belum saya temukan juga si mata biru.

Imeum mukim Lamno, Teungku Tantawi, menunjuk sebuah rumah. “Rumah itu ada mata birunya,” kata Tan­tawi.
Generasi "Mata Biru" Saudara Sekandung

Saya menoleh ke arah yang ditunjuk. Di serambi de­pan rumah itu terlihat empat orang anak kecil. Kalau boleh ditaksir, usia mereka masih Balita (di bawah lima tahun). “Lihat saja keempat anak itu. Yang nomor dua dan nomor tiga berkulit putih, rambutnya juga seperti bule. Matanya biru. Sementara anak tertua dan terbungsu, persis seperti keturunan Aceh asli kan?” tutur Tantawi.

Menurut lelaki 70 tahun itu, keturunan mata biru di Lamno banyak hilang saat musibah tsunami. Pasalnya, tem­pat tinggal mereka persis di tepi laut. Di samping itu, perkaw­inan antara keturunan mata biru dengan orang-orang pen­datang semisal orang Aceh dari daerah lain, juga menjadi salah satu penyebab keturunan Portugis ini berkurang.

Tempat-tempat yang banyak dihuni komunitas mata biru, seperti daerah Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang, merupakan tempat yang disebutkan oleh Tan­tawi sebagai kawasan imbas tsunami paling parah. “Nyan ke nyan nyang tinggai, ka hana asli lé. Kadang-kadang na aneuk mata biru, ôkjih itam. Leuh nyan, na cit nyang hie ure­ueng Aceh mamandum rupajih,” katanya.

“Saya ingat, ada satu orang yang tinggal di Minisaweu. Di sana ada seorang lelaki tua yang kerap disapa Haji Tet, satu lagi di Lamme. Hanya itu yang tersisa. Ya, itu yang saya ketahui,” ujar Tantawi. “Lainnya, habis diambil tsunami.”

 Hampir senada dengan Tantawi, camat Lamno, Jaddal Husaini, menuturkan bahwa keturunan bangsa Eropa itu sebelum tsunami dapat ditemui di beberapa wilayah, yakni desa Lambeuso, Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Namun, setelah tsunami, kata Jaddal, keturunan itu mulai sulit ditemukan.

Kendati de­mikian, katanya, pihak kecamatan tidak tinggal diam demi menjaga dan melindungi mereka. Jaddal mulai melakukan pendataan penduduk pascatsunami. Hanya saja, menurut Husaini, sulit melakukan pendataan terhadap si mata biru.

“Masalahnya adalah ketika kita masuk ke kampung-kampung tempat keturunan Portugis itu, mereka lari. Entah mengapa mereka selalu menghindar saat hendak didata,” tutur Husaini, setengah bertanya.

Selepas berbincang-bincang dengan Jaddal, saya dan Erwin kembali melanjutkan perjalanan. Matahari nyaris te­pat di atas kepala kala itu. Kami menyusuri jalan setapak dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sebuah jambô (gubuk) kupi. Kami mendekatinya. Jambo itu berarsitek kayu, beratap daun rumbia. Di warung kopi kecil itu ada sekitar delapan orang, tiga di antaranya saya taksir sudah uzur. Ke­pada bapak-bapak itu saya bertanya tentang keberadaan si mata biru. Jawabannya persis sama seperti apa yang sudah dikatakan imeum mukim dan camat. “Kurang tahu, nyaris hilang setelah tsunami,” itulah jawaban mereka.

Saat kami sedang asyik menikmati angin lembut siang itu sambil berbincang ringan, dari kejauhan terlihat seorang lelaki jangkung mendekat. “Sama dia saja kalian tanya kalau memang mau mendapatkan informasi lebih banyak tentang keturunan Portugis,” kata Saleh, salah seorang pengunjung warung tersebut.

Saya memperhatikan dengan saksama lelaki yang di­tunjuk Saleh. Samakin lama, lelaki itu semakin mendekat.

Agaknya dia juga hendak singgah di warung ini. Dia kemu­dian duduk dengan menghadap ke arah laut. Namanya Ja­maluddin. Dia mengatakan memiliki tinggi badan 185 senti­meter. Umurnya belum terlalu tua, “Baru empat puluhan,” katanya, sembari tersenyum.

Bagian hitam matanya terlihat kebiru-biruan, sedan­gkan yang bagian putihnya terlihat agak coklat. Sekilas dia seperti Jose Maurinho, mantan Manajer Klub kaya di Ing­gris, Chelsea. Sungguh, kulitnya yang putih kemerah-mer­ahan memperlihatkan dengan jelas bulu-bulu di tangan Ja­maluddin. Entah karena kulitnya yang putih itu, dia disapa akrab dengan sebutan “Bang Puteh”.

Bang Puteh adalah salah seorang keturunan Portugis. Kendati dia merupakan keturunan bangsa Eropa itu, dia mengaku tidak tahu benar tentang silsilah keluarganya. Dia juga tak hapal kebiasaan Portugis. “Saya hanya memegang adat-istiadat Aceh sebagai pegangan saya di sini,” ucapnya.

Bang Puteh juga mengatakan bahwa tidak semua anaknya memiliki ciri sama. Kata dia, dua mirip orang Aceh asli, dua di antaranya mirip bangsa Portugis. “Hal ini sama saja dengan empat orang anak yang kalian katakan sudah melihatnya di Desa Leupe. Anak saya, Rauzatul Jannah, enam tahun, dan Nurul Khamiran yang masih 2,5 tahun, sangat mirip dengan orang Barat. Tapi, dua lagi, yang tertu­anya, sangat kental dengan karakter orang Aceh pada um­umnya,” ujar Bang Puteh.

Dari Bang Puteh, saya mengetahui bahwa keturunan Portugis yang lari saat didata seperti kata camat tadi sebe­narnya bukan karena takut. “Mereka hanya malu. Masalah malu, tidak jelas, apakah karena mereka tidak mirip dengan orang Aceh kebanyakan atau karena apa,” kata Bang Puteh, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saya teringat komentar seorang mahasiswa di Fakul­tas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, yang saya jumpai belum lama ini. “Orang-orang keturunan Portugis itu terkesan hanya mau bergaul dengan dia dia aja. Itu makanya susah menelusuri tentang mereka,” kata Farah Fitriah, mahasiswa angkatan 2005 di Jurusan Bahasa Indo­nesia itu, saat saya tanya tentang mata biru di kampung­nya.

Lain Farah, lain pula pendapat Teungku M. Yahya Wa­hab. Dia adalah salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Saya bertemu dengan Yahya saat dia mengunjungi pengungsi koran tsunami di Lamno tahun 2005 lalu. Yahya juga asal Lamno. “Dara Portugis di Lamno pada umumnya berparas cantik. Namun, mereka pemalu. Jika bertemu dengan orang di luar komunitas mereka, apal­agi yang belum mereka kenal sama sekali, mereka cend­erung sembunyi.”

Menurut Yahya, karena sifat pemalu itulah membuat mereka terkesan eksklusif. Hal ini pula, kata dia, yang me­nyebabkan komunitas Portugis di Lamno itu lebih senang menikah dengan sesama komunitas mereka. “Namun, be­lakangan sudah ada juga di antara mereka yang mau diper­sunting orang luar,” lanjut Yahya.

***
Oleh Herman .RN Dosen FKIP Unsyiah

Tentang Bercinta

Bercinta merupakan ekspresi fisik ikatan intim antara pasangan. Hubungan yang tepat tidak dapat dibangun di atasnya saja, tetapi ekspresi seksual yang aman sangat meningkatkan kesehatan dan kenikmatan. Karena bercinta begitu penting, perhatikan dengan serius tentang tempatnya dalam setiap kemitraan yang saling mencintai.

Fungsi
Bercinta adalah bagian penting dari hubungan intim. Berbeda dengan seks, bercinta adalah ekspresi kepedulian, hubungan emosional dan empati. Ini adalah kesempatan untuk tanpa pamrih memberikan kepada orang lain demi kenikmatan pasangannya. Dalam suatu hubungan berkomitmen, bercinta berfungsi sebagai cara untuk menunjukkan penghargaan atas mencintai kehadiran pasangan anda dalam hidup Anda. Ini adalah waktu untuk menikmati tubuh, tidak peduli berapa banyak ketidaksempurnaan yang mungkin ada. Lebih dari segalanya, bercinta adalah waktu untuk menikmati sepenuhnya perasaan syukur dan kesenangan.

Pertimbangan
Dewasa ini, bercinta telah dibuat menjadi komoditas hampir kosong. Banyak orang menyamakan dengan seks biasa, yang tidak memiliki komponen emosional bercinta. “Bercinta” bisa terdengar seperti kata-kata kosong, terutama bila ada segudang kalimat yang mengambil makna. Apakah “bercinta” adalah sesi seksual yang sangat intens ? Apakah bisa dilakukan di luar suatu hubungan? Sebuah petunjuk untuk jawaban pertanyaan ini terletak pada kalimat itu sendiri. Harus ada cinta yang terlibat.

Kesalahpahaman
Ada banyak kebohongan beredar tentang bercinta, sebagian besar dikatakan oleh orang-orang yang ingin membuat keuntungan. Meskipun bisa menyenangkan untuk mempelajari posisi baru dan teknik, tidak akan membantu jika tidak ada ikatan rohani atau emosional. Kebanyakan orang yang penuh cinta lebih perhatian tentang cinta sejati, menghormati dan berbagi penerimaan dari kecakapan seksual seorang kekasih. Kesalahpahaman lain yang populer adalah bahwa bercinta saja dapat membuat dan mempertahankan hubungan. Sekali lagi, bercinta adalah sebuah komponen dari keseluruhan. Tidak ada ikatan yang benar-benar padat dan abadi dapat berkembang berdasarkan fisik. Bahkan, hubungan dangkal jenis ini akhirnya akan menimbulkan kebosanan.

Manfaat
Ada banyak alasan untuk bercinta dini dan sering. Seks yang baik menurunkan kadar stres, meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit, membakar kalori dan mengurangi rasa sakit. Seks yang baik juga meningkatkan harga diri dan meningkatkan penampilan – maka banyak yang dipuji karena “bersinar” setelah sesi bercinta yang bergairah. Bagi perempuan, orgasme juga dapat membantu meringankan rasa sakit karena kram menstruasi. Untuk pria, aktivitas seksual membantu dalam mencegah kanker prostat dan penyakit.

Peringatan
Tentu saja, bercinta tidak boleh dilakukan dalam perilaku tidak sehat. Selalu menggunakan kondom selama aktivitas seksual untuk mencegah penyebaran HIV, herpes dan penyakit menular seksual lainnya. Jika semua pasangan telah diuji untuk penyakit, makan pil KB atau alat bantu hormon lainnya adalah cara terbaik untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun ini tidak akan membantu dengan pencegahan PMS. Bercinta bukanlah sesuatu untuk dibagikan dengan semua pasangan, hanya pada seorang yang memiliki ikatan dalam percaya, perasaan dan kasih sayang.

SMA Lamno Pertama Buka Kelas Internet

CALANG – Kadis Pendidikan Aceh Jaya, Kamis (15/12) meresmikan kelas khusus internet di SMA Negeri 1 Lamno, Aceh Jaya. Pembentukan kelas khusus hasil kerjsa sama dengan Divisi Flexi Telkom Aceh Jaya diharapkan akan dapat mendongkrak mutu pendidikan di Aceh Jaya.

“Untuk Aceh Jaya baru ada satu sekolah yang sudah memiliki kelas internet yaitu di SMA Negeri 1 Lamno. Dengan demikian para siswa dapat memanfaatkan fasilits internet tersebut sebagai bank pengetahuan. Selain itu, para siswa belajar melalui invokus,” kata Kadisdik Aceh Jaya, Drs Ismail Ibrahim kepada Serambi, Jumat (16/12) di Calang. Sementara untuk sekolah-sekolah lainnya di tingkat SLTA, kata Kadisdik, diharapkan pada 2012 mendatang juga akan memiliki kelas internet.(c45)


sumber:http://aceh.tribunnews.com

Berbagi Buku Lewat Kedai Kopi

Berapa kali dalam sepekan, Anda mengunjungi kedai kopi di mal ternama Jakarta? Menikmati secangkir kopi sambil kumpul bareng teman atau bertemu relasi mungkin saja sudah menjadi gaya hidup masyarakat urban. Termasuk saat Anda memilih mendatangi jaringan kedai kopi dari Amerika yang memiliki gerai di sejumlah mal ternama di Jakarta.


Saat mengunjungi kedai kopi bernuansa hijau ini, perhatikan sekeliling Anda. Jika Anda singgah di salah satu mal premium di selatan Jakarta, kedai ini menyediakan ruang untuk menyimpan kotak kardus besar yang siap menampung buku bacaan. Tak ada salahnya menengok sejenak, membaca poster atau brosur yang diletakkan di dekatnya, sekadar menunjukkan bahwa Anda peduli.


Kemudian, jika esok hari Anda kembali memenuhi kebutuhan minum kopi di kedai yang sama, Anda bisa ambil bagian dengan membawa satu atau lebih buku bacaan dari rumah, untuk dimasukkan ke dalam kardus buku tadi. Melalui gerakan sederhana ini, Anda telah menjadi sukarelawan. Kepedulian dan keputusan Anda untuk berkontribusi membawa dampak besar bagi anak-anak daerah, mereka yang tinggal jauh dari hiruk pikuk ibukota.
Mengusik rasa peduli masyarakat perkotaan, dengan berbagi buku bekas untuk dijual kembali, merupakan bagian dari gerakan sosial Drive Books, Not Cars. Misi utamanya adalah mendukung komunitas anak di Jakarta dan Flores, melalui donasi buku dan dana untuk pengembangan program sosial mereka.


Menggalang dana

Untuk kali kedua di 2011 gerakan Drive Books, Not Cars dilaksanakan. Gerakan sosial independen ini mengumpulkan buku layak baca, dalam jangka waktu tertentu, untuk dijual kembali di sela kegiatan car free day di pusat kota Jakarta.


Gerakan ini untuk kali pertama dimulai pada bulan Ramadhan. Lebih dari 40 kardus buku disebar di sekitar Jakarta pada 26 Juli-1 September 2011 lalu. Momen Ramadhan sengaja dipilih untuk mengenalkan gerakan kepedulian ini kepada warga Jakarta. Alhasil, lebih dari 5.000 buku terkumpul.


"Dari gerakan awal lalu, kami berhasil mengumpulkan 2.500  buku novel berbahasa Inggris, lalu menjualnya kembali di sela car free day, dan berhasil menggalang dana darinya senilai total Rp 31 juta. Sementara, sekitar 2.600 buku berbahasa Indonesia langsung kami distribusikan kepada komunitas anak di Flores," kata Zack Petersen, salah satu penggagas Drive Books, Not Cars, kepada Kompas Female melalui surat elektronik.


Petersen mengatakan, penggalangan dana dari gerakan ini menyasar pada dua komunitas anak-anak, yakni Sahabat Anak di Jakarta and Taman Bacaan Pelangi di Flores.


Buku melimpah dari Senayan dan Kemang

Dari gerakan perdana lalu, Drive Books, Not Cars rata-rata menerima 10-300 buku di setiap drop box. Buku yang terkumpul dari drop box di Senayan City melimpah, kata Petersen. Sementara pengumpulan buku di Kemang, tiga kali lebih banyak jumlahnya.


"Menakjubkan melihat begitu banyak orang yang menyumbangkan bukunya, meski mereka tak mengenal dekat siapa Sahabat Anak dan Taman Bacaan Pelangi, namun mereka mau berbagi," ungkapnya.


Khusus untuk gerakan kedua ini, Drive Books, Not Cars berencana menjual buku bekas layak baca tersebut di area terbuka di depan eX Plaza Indonesia pada 29 Januari 2012, pukul 08:00 - 17:00. Pengumpulan buku tahap kedua ini berakhir pada 27 Januari 2012.


"Kami berharap semakin banyak orang yang berpartisipasi di gerakan ini. Baik mendonasikan buku melalui Starbucks atau datang dan membeli buku-buku yang kami jual pada 29 Januari nanti. Kalau ada yang berminat menjadi sukarelawan di Sahabat Anak atau Taman Bacaan Pelangi, itu lebih baik lagi. Kami ingin mengajak orang lain untuk menjadi sukarelawan dan melakukan sesuatu untuk membuat perubahan bagi kehidupan anak-anak," jelas Petersen.

Untuk menjadi sukarelawan, Anda bisa mengajar apa pun mesti tak berprofesi sebagai guru. Mengajar anak-anak dengan apa pun keahlian yang Anda miliki, merupakan bentuk kerelawanan yang dibutuhkan.

Dukungan
Gerakan sosial yang berawal pada kepedulian atas masa depan anak-anak ini nyatanya mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk media sosial. Kardus buku tersebar di Jakarta seperti di Starbucks, Blitzmegaplex, kantor redaksi Jakarta Globe, dan kedutaan Australia, sebut Petersen.

"Starbucks punya peran besar dengan memberikan kami tempat untuk meletakkan drop box," ungkapnya.
Ia menambahkan, ide awal gerakan Drive Books, Not Cars ini lahir dari pemikiran Scott Hanna, Ketua Young Professionals Commitee dari American Chamber of Commerce. Menciptakan perpustakaan lebih besar dan memberikan beasiswa lebih banyak untuk anak-anak di Sahabat Anak menjadi tujuan awalnya.

Saat ini ada sekitar 100 anak penerima beasiswa di Sahabat Anak. Dana beasiswa tak hanya berasal dari Drive Books, Not Cars. Gerakan ini hanya salah satu caranya untuk memenuhi kebutuhan beasiswa tersebut, jelas Petersen.

"Kami tidak mencari uang melalui kegiatan ini, tetapi murni untuk meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak. Kami membutuhkan buku bekas dari Anda. Kami juga ingin Anda bergabung pada 29 Januari nanti, dan membeli buku-buku sumbangan. Kami juga berharap Anda mau menjadi sukarelawan. Itulah harapan sekaligus hal yang paling membahagiakan bagi kami," tandasnya.

Anda tergerak ambil bagian di gerakan sosial untuk anak Indonesia ini? Mudah saja caranya. Jika berencana ke kedai kopi esok hari, jangan lupa bawa buku bekas Anda, masukkan sebanyak-banyaknya ke dalam drop box. Jika masih belum puas berbagi, kunjungi Drive Books, Not Cars di area car free day 29 Januari, untuk membeli buku yang dibanderol Rp 35.000-50.000. Satu lagi cara sederhana untuk berbagi, dan rasanya bisa dilakukan siapa saja, termasuk Anda.

Friday, December 16, 2011

7 Jenis Aroma Dasar Wewangian

Tak mau, kan, jika Anda dijauhi orang karena bau tubuh yang tak sedap? Untuk menghindari timbulnya bau badan, rajin menjaga kebersihan diri menjadi solusinya. Setelah itu, Anda bisa menggunakan deodoran atau parfum untuk menambah keharuman pada tubuh.
Parfum, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti "melalui asap", secara harfiah mempunyai makna minyak hasil ekstraksi dari tumbuh-tumbuhan yang dipadukan dengan zat kimia serta air, dan kemudian memancarkan aroma yang wangi (itu sebabnya dulu ibu kita sering menyebut parfum sebagai minyak wangi). Sebenarnya parfum dibuat untuk berbagai upacara keagamaan, dengan membakar minyak dan kayu beraroma. Namun, seiring perkembangan waktu, parfum diracik dengan menambahkan sari pati bunga agar lebih wangi.
Seiring perkembangan waktu pula, tak hanya sari pati bunga  yang ditambahkan ke dalam parfum ini, tetapi juga aroma buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, kayu-kayuan, dan lainnya. Oleh karena itu, sampai sekarang akhirnya dikenal sekitar tujuh bagian besar aroma parfum.


1. "Oceanic air"
Pada wewangian jenis ini, udara dan laut menjadi inspirasi dari wewangian ini. Aromanya yang ringan dan cenderung segar membuat parfum dengan aroma ini mampu menebar keharuman yang menyegarkan dan menyenangkan.

2. "Gourmand"
Aroma parfum ini merupakan campuran dari vanila dan tonka bean (mirip biji kopi, tetapi untuk parfum). Wewangian jenis ini biasanya memiliki aroma yang lezat seperti aroma makanan. Misalnya, aroma-aroma rempah seperti vanila, kayumanis, madu, dan cokelat.
3. "Floral"
Aroma floral atau bunga menjadi inti dari keseluruhan aroma ini. Nuansa klasik, feminin, dan romantis sangat melekat pada keharuman parfum jenis ini. Sebagian besar perempuan menyukai aroma ini. Tak heran jika aroma wewangian jenis ini menjadi sangat populer dan paling disukai di dunia.

4. "Fruity"
Sesuai namanya, aroma parfum ini memiliki keharuman buah-buahan. Aroma buah yang segar dan ringan memberi kesan seksi yang segar. Aroma fruity yang digabung dengan aroma floral sedang ngetren saat ini karena memberikan kesan muda dan ceria.

5. "Woody"
Pada keharuman ini, aroma kayu menjadi unsur utama dalam parfum. Misalnya saja keharuman kayu cendana dan pinus. Aroma ini merupakan jenis aroma parfum natural, dan keharuman ini bisa berguna untuk menghangatkan suasana. Aroma ini tak jarang juga menimbulkan kesegaran aroma hutan yang basah dan segar.

6. "Green"
Aroma yang satu ini berasal dari jenis dedaunan dan pepohonan, seperti bergamot, oakmoss, patchouli, dan abdanum. Jika menginginkan sensasi aroma yang rileks, aroma daun-daunan ini bisa jadi pilihan yang tepat.

7. Oriental
Aroma parfum yang satu ini tercium sangat elegan dan anggun. Kandungan bahan baku yang beragam membuat paduan aromanya menjadi cukup rumit, seperti sweet vanilla, musk, spice, sumtuous flowers, serta oriental resins. Aroma ini tergolong paling seksi dan sensual.

9 Tanda Anda Mengalami KDRT Emosional

Hubungan yang tidak sehat tak hanya bicara soal kekerasan fisik, tetapi juga emosi (psikis), mental, dan finansial (ekonomi). Seringkali tanda-tanda bahaya sudah mulai menonjol, namun tak sedikit korban kekerasan memaklumi tindakan kasar pasangan dengan menerimanya sebagai karakter si kekasih, dan masih memberikan toleransi.
Jika tanda-tanda berikut sudah mulai muncul dalam hubungan, jangan anggap remeh karena hubungan sudah menandakan tak lagi sehat:

Memberi label buruk
Memanggil nama pasangan yang bertendensi menjatuhkan kepercayaan diri, adalah cara yang digunakan dalam kekerasan dalam hubungan. Ucapan verbal seperti gembrot, jelek, bego, atau manja, sama menyakitkannya dengan kekerasan fisik. Kata-kata seperti ini bisa merapuhkan hati lebih dalam.

Tak lagi ada privasi dan cenderung curiga
Dompet, tas, dokumen, komputer, atau ponsel Anda selalu diperiksa tanpa alasan yang jelas. Pasangan juga mengharuskan Anda ditemani orang lain, atau ia harus selalu menemani saat Anda bepergian. Hal tersebut adalah sebagian saja contoh bahwa Anda sudah dalam pemantauan, yang menandakan pasangan penuh curiga, cemburu, dan tak lagi percaya. Anda sudah menjadi korban kekerasan ketika privasi Anda mulai terganggu, semua telepon masuk dipertanyakan, atau Anda tak lagi memiliki kebebasan.


Kontrol penuh terhadap diri Anda
Pasangan menuntut Anda langsung pulang ke rumah usai kerja. Anda harus selalu dijemput atau diantar ke tempat tujuan, dan ini bukan bentuk perhatian, melainkan bentuk kontrol yang tak lagi logis. Ketika pelaku kekerasan selalu perlu tahu keberadaan Anda setiap menit tiap harinya, ini disebabkan ia merasa khawatir kehilangan kekuasaan atas diri Anda. Perasaan terancam ini membuat pasangan semakin mengontrol Anda lebih ketat.

Melarang aktivitas Anda di pergaulan sosial
Percaya tidak, pelaku kekerasan bisa saja tak cuma memutus koneksi Anda dengan teman dan pergaulan sosial, tetapi juga terhadap keluarga. Hal ini merupakan cara pelaku untuk menutup komunikasi Anda dengan orang lain yang bisa mendukung dan membantu Anda. Cara ini dimaksudkan untuk memperlemah Anda.

Mengontrol keuangan Anda
Mengambil alih keuangan Anda, dan membatasi Anda dalam menggunakan akses keuangan, adalah pertanda yang makin mendekatkan korban kepada pelaku. Dengan begitu Anda menjadi bergantung terhadap pasangan dan menyulitkan Anda untuk bergerak. Kalaupun Anda berhasil kabur tanpa uang sekalipun, pelaku kekerasan semacam ini juga akan pergi mencari korban lain.

Memaksa hubungan seksual
Memaksa orang lain melakukan hubungan seksual, meskipun hal itu dilakukan terhadap pasangan sendiri pun, adalah kekerasan seksual. Hubungan intim karena paksaan bisa menimbulkan luka emosi yang paling dalam, melebihi luka fisik.

Mengancam
Ancaman terhadap diri Anda, anak-anak, teman, atau anggota keluarga Anda, adalah kekerasan. Ini adalah bentuk intimidasi untuk memberikan ketakutan dalam diri Anda. Rasa takut dijadikan senjata pelaku kekerasan yang paling ampuh untuk melumpuhkan korban.

Menuduh
Menuduh Anda menggoda pria lain, atau tergoda oleh orang lain lalu pergi berduaan dengannya, menjadi pola perilaku pelaku kekerasan. Tuduhan ini  kemudian dijadikan alasan paling tepat baginya untuk memulai perilaku kasar terhadap Anda secara fisik.

Memaksa mengkonsumsi obat terlarang
Membuat Anda bergantung pada obat terlarang adalah cara paling mudah bagi pelaku untuk melakukan kekerasan fisik. Dalam kondisi tak sadarkan diri, Anda tentu tak mampu melawan ketika si pelaku bertindak kasar pada Anda.

Jika satu saja dari sederetan tanda ini sudah mulai Anda temukan dalam diri pasangan, mulai katakan "tidak", dan sudahi hubungan. Bisa jadi tak semudah itu untuk bertindak. Mintalah bantuan teman atau orang terdekat yang bisa Anda percaya, dengan bercerita tentang kondisi Anda. Dukungan dari orang terdekat untuk menguatkan Anda menjadi sangat berperan. Jadi, tentukan sikap!

Tampil Bareng 28 Dancer, 7 Icons Tak Kesulitan

Jakarta - Girlband yang namanya tengah menanjak 7 Icons juga turut serta memeriahkan acara HUT Trans Corp ke-10, Kamis (15/12/2011) malam. Mereka pun tampil sangat berbeda dari biasanya.

Dalam penampilan kali ini, girlband yang digawangi oleh tujuh dara cantik asal Surabaya itu didukung koreografi yang spektakuler. Mereka menyanyi dengan penari latar yang berjumlah 28 orang.

"Selain kostum (yang berbeda), dancer-nya tadi ada 28 orang," ujar PJ saat ditemui Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta.

"Untungnya nggak kesulitan sih, mereka cepat menghafal gerakan 7 Icons," tambahnya menjelaskan.


Selain itu, grup vokal yang melejit lewat tembang 'Playboy' itu juga mengaransemen ulang lagu tersebut menjadi berbeda dari biasanya. "Aransemen lagu 'Playboy' juga berbeda dari biasanya," tambah Vanilla.

Shandy Aulia Tunda Punya Momongan

Jakarta - Artis Shandy Aulia resmi menikah dengan David Herbowo pada 12 Desember lalu di Bali. Namun, Shandy mengaku menunda untuk memiliki momongan. Kenapa?

"Kita sudah program kita menunda 2 tahun ke depan, jadi mau pacaran dulu saja," ujar Shandy saat ditemui di Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/12/2011).

Shandy juga mengungkapkan dirinya tak akan mundur dari dunia hiburan. Bahkan, Shandy didukung penuh sang suami untuk terus berkarier sebagai artis.

"Aku akan support pekerjan yang buat Shandy happy," ujar David.


Pernikahan Shandy dan David menjadi pusat perhatian belakangan ini. Hal itu disebabkan karena ayah Shandy tak merestui pernikahan mereka.

Kembali Goyang, Inul Tak Mau Tampil Erotis

Jakarta - Pedangdut Inul Daratista tampaknya sudah "kapok" dengan berbagai pencekalan dirnya di masa lalu. Inul kini berjanji tak akan tampil erotis.

Inul sendiri mengaku bahwa dirinya dulu memang kerap tampil "norak" di atas panggung. Namun semua hanya masa lalu. Pemilik goyang ngebor itu kini lebih memilih tampil glamor ketimbang menonjolkan lekuk tubuh dan goyangan seksi.

Seperti pada penampilan perdananya di acara ultah Trans Corp ke-10. Inul tampil dengan gaya busana khas India nan gemerlap.

"Pengin dikemasnya nggak kayak dulu lagi. Penginnya penampilan kita nggak norak kayak dulu, saya mengakui," ungkapnya di JCC, Senayan, Kamis (15/12/2011) malam.

Hal yang sama juga diungkapkan rekannya, Kristina. Pelantun 'Jatuh Bangun' itu ingin kembali berkarya dengan tampil elegan.


"Supaya orang tak memandang sebelah mata. Suara tetap nomor satu," tuturnya.

Inul yang berencana kembali mengeluarkan lagu pun tak membantah, saat ini musik dangdut memang dihuni penyanyi-penyanyi top. Meski semakin banyak saingan, ia menilai hal itu adalah biasa.

"Sesuai dengan porsinya saja. Sekarang lagi masanya mereka. Musik yang sehat adalah di mana kita memberikan kesempatan yang mau lewat seperti Tuti Wibowo dan Melinda, kita nggak harus iri dengan mereka," ujarnya.

Thursday, December 15, 2011

Perang Aceh Dalam Ingatan Belanda (part 3 selesai)

Perang Atjeh


Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)

Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.

Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.


Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)

Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,
Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De Christenhonden willen ons land bezetten,Zij willen onze godsdienst inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze godsdienst, de Islamitische godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.Denk maar niet dat je vader met z’n vrienden op stap isOm de komst van de Christenhonden te vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh. 
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.

Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)

Tiada Tuhan selain Allah
Rasul telah berpulang
Kembali ke pangkuan Allah
Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita
Do idi ku doda idang
Tali layang-layang di udara telah putus
Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang
Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.

Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?

”Jakarta” tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.

Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin meningkat. Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.

Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk dibahas.

Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.

Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.

Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.

Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.

***

Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah selayaknya mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua subyek sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit, sangat sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang sangat berarti ini dalam sejarah kita.

Akibatnya adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang Aceh. Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh letaknya dan dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara massal dari negara kita.

Begitu banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua  namun  monumen Perang Aceh sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu jika mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita merampas kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan sendirinya segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita mengalihkan perhatian ke arah lain.

Untungnya hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan hanya memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua orang di seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa lalu jika boleh saya tambahkan).

Bicara tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di Amsterdam. Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland (Indonesia-Belanda) dan berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.

Tetapi monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu masih bernama Monumen Van Heutsz,  nyaris tidak seorang pun yang tahu bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat tentang hal ini).

Jadi ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang berbeda. Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk memperingati Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873 dan berakhir dengan perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya Belanda dari Aceh tahun 1942. Sebuah monumen tentang agresi dan pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.

Sebuah monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda dan Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif. Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang menarik tentang Perang Aceh  yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah dan rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu sebagaimana aslinya.

Otentik. Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu KNIL asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan anak-anak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang diromantisasi ala Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan Perang Aceh harus dihidupkan kembali. Untungnya pada tahun 2009 het Indisch Herinneringscentrum (Lembaga untuk memperingati sejarah tentang Indonesia) atau disebut juga IHCB di Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan diselenggarakan  pameran berjudul Het verhaal van Indië (Kisah tentang Indonesia)  di Bronbeek
.
Artinya setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB  menampilkan kisah Perang Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak hal besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih harus kita tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi Perang Belanda) bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai ’kebaikan KNIL’ (dan para pahlawannya) (27) menyebut monumen KNIL, sebuah patung dada Van Heutsz dari perunggu, sebuah bangku dengan plakat bertuliskan Jendral van der Heijden (atau Kareltje Eénoog) dan patung tentang Perang Aceh di Taman Bronbeek untuk menggambarkan ’bagaimana seorang Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL (yang heroik-Red)’.

Jika Elly-Touwen-Bouwsma  merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda yang gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid Raya di Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga jatuh dari tangga dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak ada yang menentang sanjungan setinggi langit terhadap para jendral Belanda dan para serdadu mereka yang heroik dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian, juga tidak ada yang menentang Monumen Van Heutsz yang bombastis di Amsterdam, yang diresmikan dengan penuh keartistikan.

Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arah Amsterdams Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam) di Valeriusplein sebuah tempat disediakan untuk sebuah monumen yang mencerminkan harapan, misalnya patung seorang anak lelaki Aceh yang duduk di bawah kerindangan bambu sebagai satu-satunya orang yang selamat ketika pembantaian terjadi di kampungnya di Kuto Rèh tahun 1904. 

Disebelahnya patung seorang serdadu KNIL yang besar dan tinggi sebagai latar belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang memandang rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29). Amsterdam, masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang harapan itu akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh, maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).

Kita juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa kita masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak tergesa-gesa dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang. Belajar untuk memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak hingga Aceh!) Ancaman yang muncul tidak harus selalu diselesaikan melalui perang (Aceh yang di seberang lautan hingga bajak laut Somalia).

Bahwa orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita. Bahwa kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha untuk menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan lawan-lawan kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman melawan Belanda tahun 1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke Aceh tahun 1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje dan muridnya yang militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas bagi pihak Belanda bahwa bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah sesuatu yang khusus, lebih daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.

Usaha lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka telah melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas kepemerintahan. Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk memperbaiki kampung-kampung, untuk membantu para petani, membangun mesjid dan ruang-ruang pertemuan masyarakat.

Setelah Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda mengeluarkan buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh kebanggaan, padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada. Pengalaman 70 tahun Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen Pertahanan.

Sekarang akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya ingin menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan akan Perang Aceh sama sekali belum mati.

(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)

Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.


Daftar Rujukan

Basry, Muhamad Hasan, Perang Kolonial Belanda di Aceh, Banda Aceh,  1990
Bossenbroek, Martin, Geweld als therapie, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De verbeelding van een koloniale  oorlog,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam 2001
Blokker, Jan, Veel geleerd, niets onthouden, dalam: NRC Handelsblad, 4 September 2009
Blokker, Jan, Nog altijd de oorlog van Lou de Jong, dalam: NRC Handelsblad, 14 Mei 2010
Bruinsma J.F.D., De verovering van Atjeh’s Grote Mesigit, 1889
De Groot, Menke, Onze vestiging in Atjeh, Drogredenen zijn geen waarheid, van G.F.W. Borel, Penerbit
     Eburon Delft, 2009
Hadi, Amirul, Exploring the Acehnese Conception of War and Peace, A Study of Hikayat Prang Sabi, makalah yang dipresentasikan pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh, 24-27  Pebruari 2007
Hogervorst, Lucie, Van etnocentrisme naar cultuurrelativisme, skripsi doktoral, Rotterdam, 2004
Hogervorst, Lucie, De (niet te) vergeten oorlog in Atjeh, dalam: Penerbitan Khusus 65 jaar na de Tweede
     Wereldoorlog, 2010
Langeveld, Herman, Dit leven van krachtig handelen.  Hendrikus Colijn 1869-1944, Deel 1: 1869-1933,
     Atjeh,  Penerbit  Balans, 1998
Marzuki, Marlina, Dodaidi, More than songs of lullaby, Lhokseumawe State Polytechnic, 2009
Paasman, Bert, Wij gaan naar Atchin toe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De verbeelding van een koloniale  oorlog,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam 2001
Rep, Jelte, Atjeh, Atjeh!, Penerbit de Prom, Baarn 1996
Székely-Lulofs, Madelon, Tjoet Nja Din, Amsterdam 1948, ’s-Gravenhage 1985
Touwen-Bouwsma, Elly, Het Bronbeekpark, dalam: Madelon de Keizer en Marije Plomp  (red.), Een open
     zenuw. Hoe wij ons de Tweede Wereldoorlog herinneren,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam, 2010
Van ’t Veer, Paul, De Atjeh-oorlog, Penerbit de Arbeiderspers, 1969
Vink, Nico, Verbannen uit Indië (1936-1945), Penerbit Walburg Pers, 2007
Vink, Nico en Mehmet Ozay, Wat weten Atjehers van de Hollandse Koloniale Oorlog in 
     Atjeh?, Januari 2010, penelitian yang belum diterbitkan.
Wekker, Hoe beschaafd Nederland in de twintigste eeuw vrede en orde schept op Atjeh, 17 artikel
     dalam De Avondpost, Oktober 1907
Zentgraaff, H.C., Atjeh, Batavia, 1938
Zonneveld, van, Peter, De Van Heutsz-mythe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De  verbeelding van een koloniale oorlog, Penerbit  Bert Bakker, Amsterdam, 2001 

Catatan
(1)   Wekker 1907                                   (12) Bossenbroek 2001                           (23) Marzuki 2009 
(2)   Székely-Lulofs 1948/1985              (13) Langeveld 1998                               (24) Vink en Ozay 2010
(3)   Blokker 2009                                  (14) Székely-Lulofs 1948/1985              (25) Van Zonneveld 2001 hal. 139-154
(4)   de Groot 2009                                 (15) Faber 1988                                      (26) Touwen-Bouwens 2010 hal. 105
(5)   Paasman 2001 hal. 159/160             (16) Van ’t Veer 1969                             (27) Blokker 2010
(6)   Paasman 2001 hal. 51                      (17) Dolk 2001                                       (28) de Groot 2009 hal. 24
(7)   Paasman 2001 hal. 56                      (18) Hogervorst 2004                                     Basry 1990 hal. 99         
(8)   Paasman 2001 hal. 63                      (19) Hogervorst   2010                                   Bruinsma 1889 hal. 59
(9)   Van ’t Veer 1969 hal. 39                 (20) Hadi 2007                                        (29) Bossenbroek 2001 hal. 21
(10)  Zentgraaff 1938 hal. 190                (21) Zentgraaff  1938 hal. 245                        Basry 1990 hal. 190             
(11) Van ’t Veer 1969 hal.256                 (22)Rep 1996 hal. 5                                (30) geïnspireerd op de Talmud                                                                                                                                             (31) Vink 2007 hal. 163 



Perang Aceh Dalam Ingatan Belanda (part 2)


Tentu saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari Multatuli yang sudah kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat 'kepada Raja' sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda (James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk memaksakan kehendaknya dengan mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu tindakan yang wajar dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat dipahami.” (9)

Saya juga sudah menyebut tentang ’Wekker’, seorang polisi menulis 17 artikel kritis di koran Den Haag ’De Avondpost’. Artikel-artikel yang menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para penulis seperti Zentgraff sebelum Perang Dunia Kedua (10) dan van ’t Veer (11) dan Bossenbroek (12) tidak menghargai keterlibatan KNIL dalam Perang Aceh. Salah satu kutipannya, ”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.”

Komandan Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto. Seorang Letnan bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya dalam Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak menyenangkan tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani mereka dengan bayonet.”.


Setelah tahun 1945 muncul perhatian dari berbagai pihak tentang Perang Aceh. Misalnya Madelon Székely-Lulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh Cut Nya Dien (14). Atau roman yang menggugah berjudul Wisselkind yang terbit tahun 1998 yang ditulis Basha Fabers (15). Paul van ’t Veers dengan karyanya yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang Aceh) tahun 1869 (16). Atau buku De verbeelding van een koloniale oorlog (Gambaran sebuah perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh Liesbeth Dolk (17) berisi tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui pers, literatur, seni dan film.

Ingatan tentang Perang Aceh sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh sebab itu perlu ditelaah aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi doktoral yang tidak begitu dikenal yang ditulis oleh Lucia Hogervorst, van etnocentrisme naar cultuurrelativisme (18) (Dari Etnosentrisme ke Relativitas Budaya). Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah tahun 1945 tentang sejarah kolonial. Beliau mendasarkan penelitiannya antara lain pada buku sejarah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada tahun 1950-an, 70-an dan 90-an tentang Perang Aceh.

Setelah itu ia mengukuhkan pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De (niet te) vergeten oorlog in Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak untuk) Dilupakan) melalui penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk memperingati ’65 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua’(19). Pendidikan Protestan pada tahun 1950-an menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang bangsawan yang berdaulat - Red) yang tidak mau tunduk pada Pemerintah Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut yang beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.

Maka anggapan ‘harus dikoreksi’ inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda menduduki Aceh (‘menduduki’ bagi Aceh sama dengan menyerang dan menjajah- Red). Buku sejarah di sekolah Katolik nyaris tidak memberi informasi tentang Perang Aceh itu sendiri tetapi menceritakan ratusan kali tentang Pendeta Verbraak yang bertahun-tahun bertugas menangani ‘jiwa-jiwa damai para pemberani’.

Buku itu memuji perjuangan para serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang pemberani. Dengan perjuangan berat para serdadu Belanda berhasil mengembalikan ketentraman di Aceh sementara orang Aceh sendiri ’sesekali’ masih melawan Belanda (‘mengembalikan ketentraman’seolah-olah Aceh yang pribumi sudah secara sah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda- Red).

Tetapi murid sekolah sebenarnya tidak belajar bagaimana Belanda selama bertahun-tahun menjadi bagian dari petualangan keserakahan, bersaing dan berseteru dengan sesama negara Eropa lain untuk mencari keuntungan dan kekayaan di belahan dunia lain yang jauh dan belum dikenal. Orang Belanda yang baik harus mencari keuntungan, bukan dengan jalan kebaikan tetapi dengan menimbulkan banyak kerusakan. Maka Aceh pun menjadi korban dari keserakahan itu.

Kepada rakyat Belanda dikatakan bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri bajak laut di Aceh. Kepada Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar burung (yang tidak diuji kebenarannya) dikatakan bahwa tindakan itu dilakukan untuk mempersiapkan kesepakatan yang menguntungkan dengan Sultan Aceh dan untuk mengambil alih wilayah kekuasaannya.

Maka Gubernur Jendral di Batavia secara tergesa mengumumkan perang dengan Sultan Aceh dan mendaratlah pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8 April 1873 di Aceh. Tetapi ketika Jendral Belanda, Köhler, yang berkuasa tewas terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Masjid Raya di Kutaraja maka tewas pula kekuasaannya dan ekspedisi pertama itu pun gagal.

Pada tahun 1874 terjadilah Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van Swieten yang pensiun namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik Sultan Aceh diduduki, dengan penuh kemenangan beliau mengirim pesan ke Belanda ‘kerajaan sudah kita duduki’, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah kerajaan itu kosong melompong dan burung-burung pun beterbangan dari dalamnya.

Sesudah itu diikuti oleh tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan di antara yang menonjol adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal baru, kali ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di sekitar Kutaraja. Mereka bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di benteng-benteng tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.

Kemudian muncul Jendral Karel van der Heijden, alias Kareltje Eénoog (Karel Bermata Satu), setelah beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan. Taktiknya adalah ‘hukuman sebagai pelajaran’, dengan kata lain ribuan orang Aceh dibunuh dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi kemenangan perang tetap tidak tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral Van Heutsz yang kali ini mendapat giliran. 

Terinspirasi oleh visi spesialis Islam asal Belanda, Snouck Hurgronje, beliau menjalankan taktik aksi kontra gerilya yang bergerak ofensif secara berkala ke pedalaman Aceh yang bergunung-gunung, yang untuk beberapa waktu lamanya belum terjamah manusia.


Anda bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit, memberi kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van Daalen, baru terjadi perubahan.


Selama ‘ekspedisi’nya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh. Van Daalen dan pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan diabadikan melalui foto, dengan penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu disampingnya.

Para pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara anonim kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa ’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah pembunuhan’. Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904 ‘sebuah negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’.

Maka dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para pembunuh massal.

Sejak tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara singkat, contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun maka Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada tahun 1990-an ditulis demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya ingin mencari untung di Indonesia.

Lalu pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan perang. Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala kekuatan mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan melakukan perlawanan- Red).

 Ketika akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’ waktu untuk kelak bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana yang dicatat sejarah.

Pameran Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan -  Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah) di Museum Pendidikan Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari skripsi doktoral Lucia Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di Museum Bronbeek di Arnhem dengan menggunakan judul Het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes(Pejajahan Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).


Foto (1) Kontroversi 

Judul Van heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap terlalu peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam koran NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.

Bagaimana di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia Kedua dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang sengit selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004, sebuah tragedi di luar batas kemanusiaan.

Tetapi Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari bencana itu.  Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat bercerita tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan penjajah Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang Aceh yang beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan jiwa perjuangan rakyat Aceh.

Hikayat menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka. Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka, Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan dilarang. Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.

Setiap orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian harus berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari naik haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena setiap orang ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang dengan yang bukan pejuang.

Tetapi ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika Aceh menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami sebelumnya bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya merupakan taktik untuk membenahi kekuatan. (bersambung)

Sejarah Aceh Dalam Ingatan Belanda



“Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam...”


Penulis oleh Nico Vink

Tahun 1600, serangan di Nieuwpoort. Siapa yang masih membicarakan Perang Aceh? Siapa yang tahu mengapa Gubernur Jendral Loudon di Batavia (Jakarta) yang otokratis, keras kepala, impulsif dan gigih memulai perang melawan Aceh tahun 1873? Berapa tahun perang ini berlangsung? Siapa yang tahu di sungai mana, di benteng Aceh yang mana, di semak belukar yang mana, di bukit dan gunung yang mana, di kampung yang terbakar mana serta kebun kelapa yang mana tempat para serdadu Belanda dan Aceh saling melemparkan klewang satu sama lain?

Siapa yang masih ingat nama kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang Aceh dapat berleha-leha dengan 70 bidadari yang cantik setelah ’pasifikasi’, ’ekskursi’, ’pendisiplinan’ Belanda? Masih ingatkah kita bagaimana Jendral Köhler, komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral van der Heijden, alias Kareltje Eénoog, yang bersujud kepada orang-orang Aceh menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?

Siapa pula yang masih ingat tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang Aceh Kedua mengaktifkan kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun? Siapa yang tidak pernah mendengar bertahun-tahun kemudian, setelah Perang Aceh yang kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang para serdadu KNIL yang runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh pemikiran Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka semangat bertempur para serdadu itu bangkit kembali? Yang dengan tenang mengejar dan membuat kaget orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan senjata modern, klewang dan taktik anti-gerilya yang baru.


Van Heutsz yang menangkap orang Aceh yang pemberani dan pecinta kemerdekaan, pertama-tama kakinya dulu, kemudian lehernya dan dengan hati-hati dipukulnya lalu kemudian mencoba mengambil hati mereka. Terakhir, siapa yang tidak mengenal –saya hanya menyebut satu nama saja sementara ini – Van Daalen yang kejam, seorang militer yang memandang rendah pribumi.

Pada aksi kontra terorisnya, kekejaman dan kesadisan bukan hanya sesekali tetapi sistematis. Sebagaimana yang ditulis seorang polisi militer dengan nama samaran ’Wekker’ – yang pernah dipermalukan oleh Van Daalen – pada tahun 1907 melalui 17 artikel di koran ’De Avondpost’ (Koran Malam) yang terbit di Den Haag ,” para tahanan dibunuh (sebagai pelajaran lalu jasad mereka dijajarkan), kaum wanita dan anak-anak ditembak, para pemberi informasi yang ragu-ragu disiksa, para sandera disekap dalam kurungan, rumah tinggal, mesjid dan kampung-kampung dibakar habis.” (1)

Sesudah Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jendral bersama dengan komandan militer Belanda saat itu atas perintah Menteri di Den Haag, maka kritik di parlemen pun mereda. Van Daalen dibebaskan dari segala tuduhan (harusnya diadili dulu oleh pihak yang netral). Angkat topi.

Nama-nama para pemimpin besar Aceh saat itu seperti Tiro, Panglima Polim, Teuku Umar dan istrinya yang penuh semangat perjuangan, Cut Nya Dien, saya rasa tidak perlu dipertanyakan lagi. Ambil contohnya Teuku Umar. Pada awalnya beliau membiarkan dirinya didekati oleh Belanda, mendapat titel yang baik dan ribuan prajurit Aceh di bawah komandonya dilatih dan dipersenjatai oleh Belanda yang ’tidak beragama’. Setelah itu beliau menyeberang ke kubu Aceh, musuh Belanda. Di mata penjajah tindakannya dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.

Tetapi orang Aceh yang bertelanjang kaki menilainya tidak demikian. Di mata mereka, Belanda terperosok dalam perangkap Teuku Umar. Janda Teuku Umar, Cut Nya Dien, juga mempunyai semangat berjuang yang berkobar. Dengarlah bagaimana beliau mengimbau agar rakyat Aceh berjuang melawan penjajah.


”Rakyatku, orang-orang Aceh, ingatlah ini, jangan pernah lupakan! Mereka menentang Allah dan membakar Mesjid Raya (di Kutaraja)! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kafir Belanda!! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata.” (2)

Tentu saja di Belanda ada sekitar 44 atau 444 orang Belanda asli, Indo, para pensiunan KNIL di Bronbeek. Belum lagi orang Maluku, anggota Yayasan Kerkhof Pecut, dosen universitas yang muda dan tua, para pelajar asal Aceh, kelompok pecinta literatur Indische Letteren, keturunan para pegawai pemerintah Belanda dan para pengajar sekolah dasar Eropa di Hindia-Belanda, dulu, yang tahu soal Perang Aceh. Kadang mereka malah sangat banyak tahu hingga membuat kita terkejut. Tetapi lebih dari itu saya kira hanya tinggal sejarah. Menyedihkan.

Dari mereka yang menganggap Perang Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kisah tentang perang ini. Logis. Yang lainnya, ”Bagi mereka yang menganggap Perang Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali menulis, bahwa ’peringatan tentang Perang Aceh tampaknya sudah mati, sebuah masa lalu yang sudah mati,” (3)

Mereka tidak menyesalinya sama sekali, karena kita tidak bisa belajar apa-apa lagi dari perang ini, begitu pendapat mereka. Sementara yang setengahnya lagi, para ahli literatur dan sejarawan, dengan fakta-fakta kosong juga telah membuat perang ini seolah-olah mati.

Contohnya adalah Menke de Groot. Untuk merehabilitasi nama Kapten Borel yang memimpin Pasukan Hindia-Belanda dan membebaskan tuduhan terhadap Jendral Swieten, pemimpin KNIL yang dituduh bersalah melakukan pembakaran dan pembunuhan massal, maka pada tahun 2009 beliau menulis sebuah buku tebal tentang Perang Aceh Kedua membahas kedua pemimpin tersebut (4).

Bagaimana orang dapat percaya padanya, diperlukan penjelasan. ’Hati-hati dengan pendapat sembrono orang-orang seperti Multatuli dengan pemikiran filantropisnya yang menyesatkan tentang Perang Aceh’, demikian serunya. Sayang sekali bahwa de Groot dalam buku edisi cetak ulangnya hanya menyebut ’lembaga militer’dalam Perang Aceh Kedua. Padahal Perang Aceh Pertama, Ketiga dan Keempat sama sekali tidak identik dengan Perang Aceh Kedua.

Akan sangat menarik sekali jika de Groot menempatkan Perang Aceh ’nya’ dalam konteks kolonial, dengan sudut pandang saat itu dan sudut pandang saat ini. Sayang sekali beliau tidak menangkap kesempatan itu.

Berbagai lagu rakyat Belanda menunjukkan bagaimana pada saat terjadinya Perang Aceh kita melihat diri kita sendiri sebagai penjajah Belanda yang beradab dan Aceh yang barbar, serta bagaimana beruntungnya saat itu bagi Aceh karena kita ingin ’menciptakan perdamaian’ di sana.

Paasman mencatat, banyak tentang lagu-lagu tersebut adalah lagu untuk membangkitkan semangat, lagu tentang keadilan, lagu tentang polisi militer, lagu perpisahan, lagu peringatan, lagu tentang pahlawan, lagu jalanan, lagu cinta mendayu-dayu dan lagu-lagu kabaret (5).. Contohnya lagu Militair Atchinlied karya P Haagsma, (6)

“Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het kwaad.
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeulde verraad;
Roeit uit dat geboredsel, verneder die klant;
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’geplant.”
Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya kejahatan.
Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh pengkhianatan;
Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;
Dengan ’peradaban’Belanda tiga warna.

Setiap pembunuh muda menyanyikan lagu jalanan yang populer ini, (7)
En Teuku Oemar, die moet hangen;
Aan een touw, aan een touw,
Teuku Oemar en zjn vrouw.
Dan Teuku Umar, harus digantung;
Dengan tali, dengan tali,
Teuku Umar dan istrinya.

Para pahlawan Hindia-Belanda yang gagah berani pun tak dilupakan, (8)
Wie kent er niet die brave zielen
Die aan het verre Atjehstrand
Al voor de eer van Nederland vielen
't Rood, Wit, Blauw in hun verstijfde hand?
We zullen hunnen assche eeren, wreken,
En waar ik ga of sta of zit, zal ik hun naam met eerbied spreken
Want dat waren jongens van Jan de Witt.
Siapa yang tidak kenal jiwa-jiwa yang berani
Yang berjuang di pantai Aceh yang jauh
Gugur demi kehormatan Belanda
Warna merah, putih dan biru di tangan mereka yang sudah kaku?
Kita akan menghormati dan membela jasad mereka,
Dimanapun aku berada, berdiri atau duduk, aku akan menyebut nama mereka dengan penuh hormat.
Karena mereka adalah para pemuda Jan de Witt.

Kumpulan puisi yang sesungguhnya untuk orang dewasa. Puisi bertema kepahlawanan yang benar-benar khas Belanda, termasuk lagu pengantar tidur tentang Perang Aceh, sejauh yang saya tahu belum pernah ditulis. (Bersambung.....)



(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)

Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.


sumber:www.atjehcyber.net