Thursday, December 15, 2011

Polda Aceh dapat Tekanan dari Dubes Jerman dan Perancis

Banda Aceh — Kapolda Aceh, Irjen Pol. Iskandar Hasan akhirnya mendapat pressure (tekanan) dari Kedutaan Besar Perancis dan Kedutaan Besar Jerman soal penangkapan anak-anak dibawah umur yang mengaku anak Punk di Aceh baru-baru ini. Pihak kedutaan menanyakan itu pelanggaran HAM karena dicebur dalam kolam.

Kapolda menaggapi bahwa tindakan itu tidak melanggar HAM. “Ini Negara Pancasila, ini soal prilaku yang menyimpang karena kehidupannya tidak sama dengan manusia lain,” tegas Iskandar Hasan.

Provinsi Aceh adalah daerah Syariat Islam, dari budaya dan adat istiadat di Aceh tidak pernah ada kehidupan anak-anak Punk itu di Aceh.
“Anak-anak itu tidak pernah mandi, baunya bukan main, sehingga begitu sampai di SPN kita pangkas rambutnya, kita ganti bajunya dan kita cebur ke kolam, baru kemudian diberikan pakaian yang bersih, peci dan sajadah,’” kata Iskandar.

Saat melakukan silaturrahmi dengan puluhan anggota DPRA dan sejumlah wartawan di ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRA Aceh, Kamis (15/12), Iskandar Hasan meminta agar pihak DPRA membuat Qanun tentang anak-anak punk ini.


Ia mengkhawatirkan jumlah anak-anak punk ini akan bertambah banyak di Aceh. Kehadiran mereka jelas-jelas ditentang dengan Syariat Islam di Aceh. Sehingga dengan adanya qanun maka bisa memagari anak-anak punk ini ke Aceh.

Iskandar Hasan mengatakan jumlah anak punk yang ditangkap itu sebanyak 64 orang. 36 diantaranya bukan anak Aceh dan termasuk 18 orang non muslim. Anak-anak punk ini adalah yang asal Bali, Jakarta, Lampung dan Medan. Sedangkan sisanya anak-anak Aceh asal Langsa, Bireuen, Banda Aceh. Ada lima orang anak perempuan, satu diantaranya memakai jilbab.

Sebelumnya Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Saifuddin Bantasyam juga mengkritisi pembinaan anak-anak punk itu oleh Pemko Banda Aceh ke Sekolah Polisi Negara (SPN).

“Penindakan” terhadap anak-anak punk itu harus bersifat mendidik, seimbang dengan perbuatan mereka.

Menurut Saifuddin, punk bukan penjahat besar, bukan pencandu narkotik, penjudi, dan mabuk-mabukan. Masyarakat dapat memilah apa yang merupakan kejahatan, pelanggaran, dan apa yang merupakan kenakalan (remaja).

“Jadi, menurut saya, sangat aneh apabila cara penindakan terhadap mereka seperti menindak mafioso, koruptor kelas kakap, pedagang shabu-shabu.

Jangan lupa, kesalahan merespon sikap mereka, bisa mengakibatkan hancurnya masa depan mereka. Mereka adalah anak masyarakat, juga generasi yang punya hak hidup di negeri ini. Karenanya, adil-lah dalam melakukan tindakan,” ujar Saifuddin Bantasyam sebagaimana berita yang pernah dilansir The Globe Journal.

Tambah Saifuddin, adil dalam penindakan itu bermakna luas. Hal yang paling mendasar adalah memastikan bahwa bentuk tindakan seperti menahan mereka di kantor polisi, membawa mereka ke Seulawah, mencukur rambut mereka, menyeburkan mereka ke dalam kolam, adalah tindakan-tindakan yang memiliki dasar (hukum) yang kuat, dan jangan merendahkan martabat.

“Media menyebut polisi menahan mereka. Kenapa ditahan, sementara ada orang-orang yang lebih berhak ditahan, misalnya karena sudah jadi tersangka korupsi, tidak ditahan? Anak punk itu melanggar hukum apa? Apakah kepada para anak punk atau para orang tua mereka diberi tahu mengapa mereka ditahan? Perlukah mereka ditahan? Setujukah mereka kepala mereka dibotakin?” tanya Saifuddin.

Dosen pengajar Sosiologi itu tahu bahwa komentarnya bisa ditafsirkan macam-macam oleh berbagai pihak. Namun dia minta siapapun untuk berperilaku konsisten dan bersikap sesuai dengan aturan yang ada, memperhitungkan kebutuhan, dan bersikap dengan sikap professional.

“Jika ini dilanggar, maka penindakan itu sendiri berpotensi melawan hukum. Nah, jika itu terjadi, maka secara moral kita malah tak berhak menindak anak punk itu, sebab bagaimana mungkin melakukan perbaikan, jika cara perbaikan itu sendiri dilakukan tidak secara semestinya?” imbuh Saifuddin panjang lebar.

Saifuddin mengingatkan bahwa jika anak Punk itu belum dewasa, maka aparat pemerintah dan warga masyarakat, juga terikat kepada konvensi hak anak, khususnya dalam hal memperlakukan anak yang bermasalah secara hukum (ABH).

Penghargaan atau respek terhadap hak anak, kata Saifuddin, tak berarti bahwa anak tak boleh dihukum atau ditindak jika memang mereka bersalah, namun karena mereka belum dewasa, maka ada panduan dalam melakukan penindakan terhadap mereka.

“Orang tua mereka misalnya, sebaiknya menjadi pihak yang lebih dahulu diminta melakukan pembinaan dibanding orang atau institusi lain. Pengecualian hanya diberikan jika orang tua mereka sendiri yang menginginkan pihak lain terlibat,” ujar Saifuddin sambil juga mengingatkan bahwa tindakan yang ekstrem terhadap mereka bisa membuat keselamatan mereka terganggu saat kembali ke tengah-tengah masyarakat.

0 comments:

Post a Comment