Monday, November 28, 2011

Putusan Hakim Soal Denda Rp 28 M untuk Eks Pilot Lion Air Dikecam Bekas pilot Lion Air

Jakarta - Bekas pilot Lion Air, Prayudi Budi Swasono dihukum harus membayar denda sebesar Rp 28 miliar kepada Lion Air. Prayudi dihukum karena mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerjanya habis. Keputusan ini langsung mendapat kecaman dari organisasi buruh.

"Harusnya hakim juga memperhatikan nilai keadilan ekonomi. Misalnya jika pilot itu gaji setiap bulannya sebesar Rp 20 juta, maka setiap tahun penghasilan yang diterima pekerja tersebut Rp 240 juta. Jika pekerja tersebut sudah menjalani kerjanya selama 3 tahun, maka penghasilan pekerja yang pernah diterima adalah Rp 720 Juta. Menurut pendapat saya denda ganti rugi itu nilainya harus di bawah Rp 720 juta. Apa dasar pertimbangan sampai Rp 28 miliar?" kata Pimpinan Pusat SP Aneka Industri, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Nyumarno saat berbincang dengan detikcom, Senin, (28/11/2011) malam.

Menurut Nyumarno, jika berdasar pengusaha mengalami kerugian karena pekerja kurang 2 tahun dalam menjalani masa kontraknya, maka logikanya harus dibalik. Yaitu selama 3 tahun pekerja bekerja, maka pengusaha juga sudah menikmati jasa dari pekerja dan tentunya keuntungan juga ada pada pengusahanya.


"Nilai 3 tahun bekerja saja pekerja mendapatkan penghasilan Rp 720 juta, kenapa jika berdasar kerja kurang 2 tahun bisa ganti ruginya Rp 28 miliar?" tanya Nyumarno.

Selain itu, dengan diberlakukannya Hukum Acara Perdata dalam Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sebenarnya adalah problem tersendiri. Ditilik dari sejarahnya, hukum acara perdata memposisikan para pihak dalam keadaan mempunyai posisi tawar yang setara.

"Padahal seharusnya posisi UU Perburuhan harus memberikan perlindungan dan meningkatkan posisi tawar buruh dalam berhadapan dengan pengusaha yang secara struktural lebih kuat. UU harus melindungi buruh yang lemah. Namanya juga UU buat buruh kan?" tanya balik Nyumarno.

Lantas dia memberikan contoh kecil tentang asas hukum 'siapa yang mendalilkan, wajib membuktikan'. Dengan asas hukum acara perdata ini, maka semakin nampak lemahnya UU No 2 Tahun 2004 tentang PHI.

"Misalnya saat pembuktian, jika penggugatnya buruh, maka pembuktian harus dilakukan oleh buruh. Saat ada perselisihan di mana pengusaha mendalilkan sedang mengalami kerugian, bagaimana buruh bisa membuktikan sebaliknya karena buruh tidak mempunyai akses terhadap laporan keuangan perusahaan yang membuktikan perusahaan merugi," tegasnya.

Persoalan lainnya ialah, jika buruh mengungkap kondisi keuangan perusahaan, ia tidak tertutup kemungkinan akan dituntut balik oleh perusahaan dengan alasan membocorkan 'rahasia perusahaan'. Maka ke depannya, UU 2/2004 tentang PHI harus mampu membuat terobosan hukum acara yang berbasis keadilan struktural.

"Itulah salah satu letak kelemahan UU 2/2004 disamping masih banyaknya kelemahan lain. Sudah mutlak sebenarnya UU 2/2004 ini untuk direvisi karena sangat banyak merugikan buruh. Bahkan 70 hingga 90 persen buruh selalu dikalahkan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)," ungkap Nyumarno.

Pihaknnya menyarankan pilot tersebut melakukan upaya perlawanan hukum berupa verzet. Jika masih kalah, maka perlawanan masih ada yaitu Peninjauan Kembali. "Saya berharap semoga pekerja/buruh sebagai rakyat kecil bisa mencari dan mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Keadilan harus ditegakkan dengan seadil-adilnya," tuntas Nyumarno.

sumber:detiknews.com

0 comments:

Post a Comment