Wednesday, December 14, 2011

“Lampuki”, Novel Aceh Dipuji dan Dihujat

LAMPUKI merupakan hasil karya yang sangat menggugah bagi dunia sastra Nusantara (terutama novel), khusus sekali di Bumi Serambi Mekah dengan performance sebagai Pemenang Unggulan Sayembara Menulis Novel 2010. Setelah sekian lama novelis-novelis Aceh diam, kini bagai bangun dari sebuah tempat persemedian dengan pukulan yang sangat pamungkas.

Novel ini mengajak siapa saja yang jadi pembacanya untuk tidak saja mengingat atau mengenang luka lama yang merobek-robek serta mencabik segenap jiwa, tetapi juga merenung tentang makna dari sebuah perang yang sia-sia dan menyisakan penderitaan serta kerugian yang tak terkira. Aceh yang didera perang adalah contoh yang paling konyol tentang tindakan pemerintah Indonesia yang hanya menciptakan bersimbah darah bagi banyak orang di ujung Pulau Sumatera.

Lampuki merupakan nama sebuah kampung. Novel ini mengisahkan tentang perang dan perilaku orang-orang di kampung itu dengan keunikan-keunikan tersendiri, sebuah kejadian pelik di kawasan kaki bukit dengan penduduknya yang beringas serta tiada henti-hentinya saling bertikai, mengusik dan merusak. Perilaku seperti ini adalah realita tabiat kehidupan rakyat di Lampuki. Anehnya mereka seakan bangga dengan perilaku meraka yang mengikutsertakan anak-anaknya berperilaku buruk.


Kisah ini dituturkan seorang teungku (guru ngaji) yang bekerja sebagai kuli bangunan, termasuk dia sempat terlibat dalam mengerjakan kompleks tentara di kampung Lampuki sebelum perang benar-benar meletus. Kehidupan di komplek tentara di Lampuki merupakan fokus cerita setelah perumahan itu ditinggalkan penghuninya dan datang penghuni baru yang menempati di saat perang mulai bergejolak.

Teungku Muhammad—demikian tokoh yang menuturkan, yang juga menjadi tokoh penting pendukung dalam novel ini—dia membangun sebuah balai pengajian di dekat rumahnya dan mengajarkan Al-qur’an kepada muridnya hingga pada setiap malam jika tidak terjadi kerusuhan. Suatu malam dia di datangi Ahmadi, tokoh utama yang juga pemimpin pemberontak di Wilayah Sagoe Peurincun, atau yang lebih dikenal dengan Si Kumis Tebal. Dia sengaja datang dengan maksud untuk membujuk dan memperdaya murid-murid Teungku Muhammad.

Kehadirannya sangat mengejutkan, sebagai mana yang dituturkan diawal pembukaan novel itu: Tak seorang pun di antara kami yang tidak mengenalnya dengan baik. Namanya begitu masyhur dan kerap disebut-sebut dalam setiap percakapan. Dialah Ahmadi si Kumis Tebal, lelaki yang menakutkan sekalian orang! Lelaki garang ini memaksakan kehendaknya pada murid-murid si teungku dengan cara menceramahinya sampai larut malam, supaya mereka bersedia menjadi pengikutnya dan membalas semua apa yang telah dilakukan oleh tentara penjajah atau juga disebut dengan kafir musuh Tuhan.

Disebutkan pula bahwa Ahmadi adalah bekas brandalan yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Dengan kegarangan kumisnya dia beraksi menyebar kebencian sesama serta orang asing yang masuk ke desa Lampuki dengan caranya yang seperti orang kegerahan. Dia mencari generasi penerus dirinya untuk menjadi melawan serdadu-serdadu pemerintah. Ahmadi mempunyai seorang istri yang tak kalah serunya dalam melakukan pembangkangan terhadap pemerintah pusat. Halimah namanya, dia sosok perempuan yang kerap mengenakan baju berkancing, rok gelap dan kain penutup kepala seadanya saja. Lucunya, perempuan tersebut mengenai pistol dibalik rok.

Selain memanggul senjata, menghadap dan menempaki pasukan tentara, hari-hari lain Ahmadi adalah mengkhutbahi penduduk dengan cara menceritakan sejarah leluhur termasuk melibatkan Hasan Tiro—tokoh pejuang Aceh—di tempat-tempat keramaian di Lampuk. Acap kali dia terpergok dengan tentara kiriman Soeharto yang berjaga-jaga di pos, tetapi dia selalu saja lolos. Tak ada sedikitpun rasa takut di raut wajahnya. Namun, saat keangkuhan seorang Ahmadi memuncak dan merasa dirinya sangat kuat, saat itulah bencana datang tiada habisnya mengepung kampung dan membuat penduduk jera dipukuli tentara.

Kisah ini juga dibumbui kisah cinta terlarang antara Jibral si Rupawan dengan Halimah, istri Ahmadi. Lelaki ini membuat para gadis mendambakannya sebagai pria idaman. Tak tertinggal juga rasa humor yang tinggi dan hal-hal mengejutkan lainnya yang tak terduga. Cara bercerita yang tidak biasa, unik, dan masih terasa asing di Indonesia. Tetapi Lampuki tidaklah asing, kata-katanya sangat mudah dicerna, dan akan disukai oleh siapa pun dan pembaca novel jenis apa pun. Novel ini sangat dekat dengan kehidupan di mana pun, sekalipun ia bercerita tentang perang, yang gambaran hidup semacam itu dapat terjadi di belahan kampung manapun.

Novel ini banyak mendapat pujian dari kalangan akademisi, pengamat sosial politik, juga para jurnalis, dan kritikus sastra. Novel yang keras dan tahan banting, yang mengangkat nama penulisnya ke jajaran sastrawan nasional papan atas. Salah satu bab dalam novel ini juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggis dan akan tampil dalam Ubud Writers & Readers Festival, sebuah ajang sastra internasional di bali yang akan diikuti 17 negara.


Lampuki adalah novel mencerahkan, lengkap dengan sejarah, sindiran, gambaran kehidupan sosial, politik, budaya, dan kearifan lokal secara menyeluruh. Sebuah novel yang sangat cemerlang yang lahir dalam sepuluh tahun terakhir dan akan bertahan sangat lama. Satu-satunya karya putra bangsa yang mesti kita sambut dengan riang gembira, yang menjadi awal kebangkitan bagi dunia sastra di Aceh, dan Indonesia pada umumnya, setelah sekian lama di Indonesia tidak muncul novel yang benar-benar dapat menggugah!

Lampuki Juga Di Hujat

 
 
Karena menghasilkan novel Lampuki, Arafatnur kerap mendapat hujatan dari sejumlah pembaca, mereka yang menghujat umumnya adalah orang-orang yang tersindir muatan cerita dalam tokoh novel Lampuki. Novel itu--menurut si penghujat-- berbau karya cabul.

“Saya membiarkan saja karena mereka tidak mengerti, mereka yang menghujat tidak memahami isi novel lampuki, sehingga menghujat. Mereka menghujat juga karena judul” kata Arafatnur kepada the Acehpost, Kamis (13/10) diLhokseumawe.

Kata Arafat soal karyanya tersebut, dirinya tidak memandang pantas atau tidak sebuah dibeberkan.

“Isinya tanggung jawab saya sebagai penulis” jelas Arafat.

Arafat Nur menganut aliran sastra bebas yang tidak terikat dengan nilai-nilai sebagaimana yang dianggungkan oleh masyarakat umum, juga, tidak memaksud menabrak moralitas dan realitas dalam novel lampuki.

“Hujatan melalui jejaring sosial sering dilontarkan oleh beberapa pihak” ujar Arafat lagi.

Pihak mana menurut Arafnur yang sering menghujat karyanya tersebut? sastrawan yang telah menghasilkan beberapa novel ini enggan menyebutkannya “Tidak pantas menyebut pihak mana,”

Namun, tidak semua orang memandang positif pada noel lampuki. Yang pernah membaca Lampuki memuji. Syarifah Rahmah, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh misalnya. Kata Syarifah Novel Lampuki memuat cerita baru yang berbeda dengan novel-novel Indonesia pada umumnya, novel itu mempunyai diksi kuat, dan mengangkat kembali bahasa melayu yang sudah dilupakan.

DKemalawati, guru SMK banda Aceh, Kemal Pasya, Dosen Antro Pologi Unimal juga memuji karya Arafatnur tersebut, bahkan mereka menganggab novel Lampuki sangat layak dibaca oleh pelajar setingkat SMA.

“Pujian tingkat humor cukup tinggi dari awal sampai akhir, ceritanya tidak mudah ditebak, atas alasan itu pula beberapa orang asing yang bergerak dibidang penerbitan Amerika David Mendoza sedang mengupayakan lampuki diterjemahkan kedalam bahasa inggris” Kata Arafat.

Novel Lampuki, menurut Arafat menceritakan tentang kerumitan sebuah kampung pada masa Aceh sedang bergejolak.

Arafatnur, sipenulis Novel pro dan kontra Lampuki itu berceritatentang kisahnya menulis buku Lampuki; Terlalu ngeri mengingatnya, apalagi menceritakan satu persatu kejadian yang masih kental terekam dalam ingatan.

“Saya sendiri adalah korban yang rumah saya turut dibakar pada tahun 1999 dan saya terpaksa meninggalkan kampung untuk menghindari dari jatuh korban. Keluarga saya morat-marit berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari makan sambil menghindari wilayah yang sedang pecah perang. Saya sempat menjadi gelandangan, lapar-lapar kenyang sambil bekerja apa saja untuk diri saya sendiri, dan hanya bisa menamatkan SMA dengan susah-payah” papar Lelaki kelahiran Lubuk Pakam, 22 Desember 1974 itu.

Selain novel Lampuki, Arafat juga sudah menghasilkan sejumlah novel lainnya seperti Percikan Darah di Bunga (Zikrul Hakim Jakarta, 2005), Meutia Lon Sayang (Mizan Bandung, 2005), Cinta Mahasunyi (Mizan Bandung, 2005), Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), Nyanyiam Cinta di Tengah Ladang (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), dan Romansa Taman Cinta (Aliansi Sastrawan Aceh, 2007),

“Saya belajar menulis secara otodidak. Pengalaman hidup banyak mengajari saya dalam menulis,” katanya sambil menambahkan bahwa dalam hidup ada makna yang bisa diambil sebagai pelajaran. “Banyak penulis-penulis besar dunia tidak lahir dengan serta merta. Mereka juga banyak berjuang dan mengisi hidup ini dengan kesulitan dan tantangn. Yang penting jalalni saja hidup ini apa adanya,” katanya sambil menerawang.

(Mucklis Azmy/Harian Waspada, Minggu,31 Juli 2011).

0 comments:

Post a Comment